“RIP”
Race In Peace
Kai ho logos sarx
egeneto
Kai eskennoosen en
hemin.
Firman itu telah
menjadi daging
dan berkemah di
antara kita
(Yoh 1:14)
Ketika kita meninggal, kerap ada tulisan “RIP” – “Rest
in Peace” (Beristirahatlah dalam Damai), tapi kini ketika kita sampai pada
momentum permenungan Natal, “RIP” juga bisa berarti “Race In Peace” (Berpacu
dalam Damai). Ya, pada mulanya adalah nada dasar “D” yakni Damai, entah sedang
“beristirahat”, entah sedang “berpacu”. Konsep damai sendiri membawa konotasi positif; hampir tidak ada orang
yang menentang perdamaian, bahkan perdamaian kerap identik dengan harapan, ingatan dan pesan bijak bestari Natal (Bdk:
Pesan Natal 2013: “Datanglah Ya Raja Damai”).
Damai sendiri
memiliki aneka-ria arti. Sebuah definisi yang sederhana dari
damai adalah “ketiadaan perang” (Absentia Belli, ketiadaan perang).
Dengan definisi seperti ini, kita dapat menganggap Congo, Sudan, dan mungkin Korea Utara dalam keadaan
damai karena mereka tidak sedang berperang dengan musuh dari luar. Kenetralan
yang kuat juga telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan
perdamaian sejak lama.
Di lain segi,
membatasi konsep perdamaian hanya pada ketiadaan perang
internasional bisa menutupi genocide,
terorisme,
dan aneka kekerasan
lainnya yang terjadi dalam negara. Oleh karena itu, ada definisi 'damai' yang
lain yakni sebagai “ketiadaan kekerasan”, tidak hanya ketiadaan perang, tapi
juga ketiadaan setan
(evil, Absentia Mallo). Dari sudut
pandang ini, perdamaian
tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang
digambarkan oleh Martin Luther King, Jr. Dalam konsepsi ini,
sebuah masyarakat di mana suatu kelompok ditekan oleh kelompok lainnya juga
merupakan ketiadaan kedamaian.
Sebuah arti
damai yang lebih menyeluruh tampak di wilayah
Danau Besar Afrika: Disana, kata damai adalah kindoki,
yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara manusia dan dunia alam
lainnya: “kosmos” dan bukan “khaos”, “harmonis
dan tidak mudah bersikap sinis”, “tulus dan tak penuh akal bulus.” Pandangan kedamaian
ini lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang", “ketiadaan
setan” atau bahkan "kehadiran keadilan".
Mengacu pada bingkai biblis, dalam
bahasa Ibrani, kata “damai” kadang diterjemahkan sebagai “syalom”. Sebenarnya, kata
ini mempunyai makna yang sangat luas, tidak sekadar atau hubungan yang harmonis
antara kita dengan orang lain, tetapi juga ‘keutuhan’, ‘kesejahteraan’,
‘kesehatan’, ‘kesembuhan’, bahkan ‘pembebasan’ dan ‘keselamatan’. Karena itu
kata “shalom” dalam bahasa Yunani kerap diterjemahkan dengan tiga matra, yaitu “eirene”
(“kedamaian”), “hugianinein” (“kesehatan”) dan “soteria” (“keselamatan”).
Bagi saya sendiri, setiap kali
saya mendengar kata “damai”, kerap yang terlintas-pintas adalah sebuah kota
bernama Yerusalem (Ibrani: “Kota Damai”) yang kerap disebut sebagai pintu gerbang menuju surga: “Aku bersukacita, ketika dikatakan
orang kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami ada di pintu
gerbangmu, hai Yerusalem.” (Mzm 122). Di dalam peta, Yerusalem bahkan dianggap sebagai kota yang paling
terkenal di dunia. Karen Amstrong pernah menyebut Yerusalem sebagai
“kota tiga agama satu Tuhan” karena disanalah hidup dan berkembang tiga agama
monoteis besar yang sebenarnya juga merupakan satu keluarga besar umat Allah:
Ada Islam
dengan Masjid Al-Aqsa, ada Yahudi dengan Tembok Ratapan, dan ada juga agama Kristiani
dengan Taman Getsemani dan Gereja Makam Suci di Kalvari. Di kota Yerusalem inilah, jelas terdapat
banyak warisan sejarah, semacam historiografi agama-agama monoteis. Sebagai
contoh, di Yerusalem, terdapat Bukit Moria, tempat Abraham, Bapa Orang
Beriman mengorbankan Ishak anaknya. Raja Daud pernah juga menetapkan Yerusalem
sebagai ibukota kerajaan Israel. Raja Salomo, juga pernah membangun Bait Suci,
kediaman Allah di kota ini. Bagi banyak orang Islam, Yerusalem diyakini sebagai
tempat naiknya Muhammad ke surga, tempat inspirasi bagi banyak nabi – seniman -
penyair dan ilmuwan. Bagi umat Kristiani sendiri, Yesus banyak mengajar,
disengsarakan, wafat di salib dan bangkit di kota Yerusalem ini.
Nah, secara sederhana, Natal adalah “a channel of
peace”, saluran penuh kedamaian. Natal adalah sebuah “khalwat: semacam ruang kedamaian pertama untuk
masuk ke “Yerusalem” kita masing-masing, karena bukankah
jalan pertama menuju “Yerusalem” adalah “Betlehem”? Sederhananya, lewat Natal, kita diajak untuk menuju “Yerusalem” dengan berjuang menjadi "Betlehem”, "Rumah Roti" yang siap dipecah dan dibagi
bagi demi kedamaian di tengah tantangan ketidakdamaian di
sekitar kita. Adapun beberapa tantangan ketidakdamaian, antara lain:
Pertama: tantangan
kemajemukan kultural, entah hal ini disadari, diyakini atau
diingkari. Kemajemukan itu mempunyai makna penting, yaitu untuk mengajak kita
bersaudara (“se-udara”), membangun kerjasama. Bukankah karena kita tidak sama, maka mungkin
sekali bekerjasama demi kepentingan dan kesejahteraan bersama?
Kedua:
tantangan komunikasi global. Dunia kita menjadi dunia hiruk pikuk yang amat sempit. Apa yang terjadi di
bumi ini, mudah sekali dikenali dan mau tidak mau ikut menantang sikap dan kualitas keberimanan kita. Bagaimanakah dalam dunia global itu kita tidak menjadi “gagap” tapi “tanggap”, tidak “kuper” tapi “supel” sekaligus tidak kehilangan jatidiri
kita sebagai orang Katolik?
Ketiga: tantangan kemiskinan sosial.
Kita diajak untuk menyadari kemiskinan bersama, bukan hanya
dalam hal materi. Kemiskinan yang paling berbahaya adalah kemiskinan moral dan spiritual, kemiskinan perilaku dan budaya. Bagaimanakah kejujuran dan
ketulusan hati akhirnya ikut melibatkan kita semua dalam
keterlibatan nyata terhadap mereka yang “miskin”?
Mencandra misteri dan intisari Natal, terdapatlah “pancasila
iman” untuk mengatasi tantangan dan semakin ber-“race in peace”, berpacu dalam
kedamaian, yakni:
1.Sukacita:
Ada sebuah lagu Natal yang
kerap kita nyanyikan: “Hai
dunia gembiralah.” Natal mengajak kita bersukacita karena pada hari itu dirayakan kelahiran seorang bayi. Sosok bayi selalu mendatangkan
sukacita (gaudium), apalagi bayi yang
delapan hari kemudian diberi nama Yesus ini, “menjadikan segala-galanya baik”
(Markus 7:37). Tatapan mata bening dan tangan lembutnya menyapa siapa saja yang
memandangnya dengan sukacita. Jelasnya, rahasia Natal terjadi di dalam
kita, kalau "rupa Kristus menjadi nyata" (Gal 4:19) di dalam kita karena Natal adalah misteri sukacita, "pertukaran yang mengagumkan": "O pertukaran yang mengagumkan! Pencipta sudi menjadi
manusia dan lahir dari perawan. Tidak diperanakkan oleh seorang laki-laki, Ia
datang ke dunia dan menganugerahkan kepada kita kehidupan ilahi" (Antifon
Ibadat Sore 1 Januari).
2.Sederhana:
Menurut
kisah klasik Natal, Yesus terbaring diantara orang sederhana di sebuah kandang Betlehem yang hina. Kita bisa
melihat Yesus kecil dengan tangan lemah terulur dan terbuka lebar. Ia memohon
bantuan orang lain: “Aku membutuhkan engkau”. Sebetulnya, kalau manusia membutuhkan Allah, itu hal biasa. Tapi, di Natal
ini tampaklah bahwa Allah membutuhkan manusia. Ia menanggalkan segala kemuliaannya dan berkenan datang dalam sosok yang
kecil-lemah dan dalam kandang yang sederhana. Ia menjadi teman dalam kelemahan. Ia datang ke dunia secara sederhana: dalam sebuah kandang dan keluarga yang bersahaja bersama dengan para gembala yang sederhana.
Dalam kesederhanaan ini, bersinarlah kemuliaan surga: “Perawan
melahirkan hari ini Yang Abadi dan bumi menyediakan gua untuk yang tidak dapat
dihampiri, para malaikat dan gembala memuji
Dia dan para majus mendekat dengan bintang, karena Engkau
dilahirkan tuk kami,
Engkau Anak mungil, Engkau Allah abadi!” (Kontakion oleh Romanos).
Engkau Anak mungil, Engkau Allah abadi!” (Kontakion oleh Romanos).
3.Setia:
Menurut Injil Lukas, Maria mengetahui dari malaikat bahwa dia telah mengandung dari Roh Kudus tanpa persetubuhan. Setelah itu dengan setia, Maria ditemani Yusuf meninggalkan rumah di Nazaret untuk berjalan ke rumah leluhur Yusuf di Betlehem, untuk setia
mendaftar dalam sensus yang diperintahkan oleh Kaisar Romawi, Agustus. Yusuf juga
setia, walaupun dia tidak tahu siapa dan apa rencana Tuhan bagi keluarganya,
dia tetap setia menemani Maria sampai akhir hidupnya. Dalam
sebuah kandang, Tuhan menyatukan kesetiaan para gembala sederhana dengan tiga
raja yang mulia. Ia menyatukan kesetiaan para malaikat kudus dengan Maria dan
Yosef yang tulus.
4.Sabar:
Ada
tiga Majus, kerap di-identifikasi sebagai Kaspar, Melkior dan Baltasar
yang terus mencari Yesus. Dalam suatu karya tulis berjudul “Excerpta et
Collectanea”: “Para majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan.
Yang pertama bernama Melkior, seorang tua berambut putih dan berjenggot
panjang, yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja.
Yang kedua bernama Kaspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya
kemerah-merahan, menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu
persembahan yang layak bagi seorang imam yang ilahi. Yang ketiga, berkulit
hitam dan berjenggot lebat, namanya Baltasar… dengan persembahan mur-nya
memberikan kesaksian bahwa Ia akan wafat sebagai nabi.” Jelasnya, mereka bertiga dengan sabar terus mengikuti
bintang untuk mencari dan menjumpai Tuhan di Betlehem.
5.Saling Memberi:
Tiga
raja memberikan emas,
kemenyan, dan mur
kepada bayi Yesus. Malaikat
memberikan kabar sukacita kepada dunia: "Damai sejahtera di bumi,
diantara manusia yang berkenan kepadanya " (Lukas 2:14). Para gembala
memberikan kesiap-sediaannya untuk bergegas pergi ke kandang Yesus. Para Nabi, dari Yesaya sampai Yohanes Pembaptis
memberikan kesaksian dan nubuatnya tentang kedatangan Tuhan: “bertobatlah-siapkan
jalan bagi Tuhan!” Yosef memberikan perasaannya karena tunangannya hamil
terlebih dahulu sebelum dinikahi. Maria memberikan rahimnya buat Yesus. Dan
terakhir serta tak terlupakan: Allah sendiri memberikan Putera Tunggalnya
kepada kita semua.
Akhirnya, bersama momentum Natal dan Tahun Baru,
marilah kita terus ber-“race in peace”, berpacu dalam damai, mempersembahkan
tidak hanya kemenyan, emas dan mur, tidak hanya nubuat - maklumat atau nasehat,
melainkan juga persembahan-persembahan rohani, yang lebih luhur daripada yang
dapat dilihat dengan mata. Pastinya, bukankah setiap kali kita meng-ejawantahkan “pancasila Natal” ini
dalam “KUD”, karya ucapan dan doa, kita bisa melahirkan Natal kembali setiap
hari dalam hati kita, bukan? “Pacem in terris – Pacem in
cordis. Damai di bumi – Damai di hati!”
@Romo Jost Kokoh
Prihatanto.
(Artikel “RIP” ini
adalah bahan kotbah refleksi akhir tahun menyambut Natal 2013, untuk para
anggota MPR/DPR RI, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta Selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar